Kisah Hujan

REP | 01 November 2013 | 09:31 
 
Hujan pertama di awal musim hujan akan selalu mengesankan bagi semua orang. Rintik hujan turun membasahi tanah tandus dan berdebu. Kepulan debu itu seperti terusir dari tanah lalu dan lenyap oleh guyuran air yang makin deras. Sesuatu yang ditunggu namun kadang juga menimbulkan kepanikan, saat tetesan-tetesan air tak terduga di dalam rumah. Rupanya adalah celah kecil di atas sana, saat genting-genting di musim kemarau tak pernah di cek kerapatannya. Mungkin tergerus oleh lapuk, atau berpindah posisi karena jadi jalan bagi kucing dan tikus berkejaran. Yang bisa dilakukan adalah menydeiakan ember-ember di bawahnya. Menaruhnya kain di dalamnya agar tetesan air yang jatuh tidak memercik kelantai. Kecemasan yang diliputi suka cita, karena bumi yang gersang dan tandus akan segera memulai cerita baru. bibit-bibit kehidupan akan muncul dipermukaannya. Rumpu-rumput akan menjadi penghiasnya. Atau tentang pohon-pohon yang merangggas akan memulai kehidupan barunya dengan munculnya daun-daun baru. sesuatu yang menyenangkan sekali, rasanya kematian yang hendak menjemput pepohonan itu tak terjadi. Asupan kehidupan didatangkan dari curahan air dari langit.
Aroma hujan pertama dari tanah yang kering adalah kerinduan yang bersambung. Aroma itu membawa nostalgia bagi siapa saja. aroma yang mengantarkan kisah masa lalu bagi orang-orang yang tak lagi berada di kampung halamannya. Memandang air hujan dari tirai jendela kayu, adalah momen kecil yang mengharu biru. Jika hujan begitu lebat, sebentar saja sudah membut genangan air dimana-mana. Meluber sampai jalan hingga membuat kesibukan warga untuk membenahinya. Banjir kecil itu menjadi cerita indah bagi anak-anak. Berkejaran dibawah air hujan untuk mencari genangan air untuk menjadi ajang bagi kaki-kai mereka menyemburkan air kearah temannya. Basah kuyup di hujan pertama adalah bentuk rasa suka cita anak-anak akan kerinduan pada sang hujan. Baru setelah mereka terlambat pulang, maka orang-orang dewasa dari kerabat mereka yang mengingatkan untuk segera pulang.
Dan usai hujan, sawah tadah hujan mulai lembek. Satu jalan setampak menuju sungai menjadi jalan satu-satunya yang terdekat untuk melihat keriuhan disana. Orang-orang mencari ikan di sungai. Hujan pertama yang membuat sungai penuh oleh air entah kenapa menjadi banyak ikan. Katanya, selama musim kemarau ketika air sungai menyusut bahkan mengering, ikan-ikan terperangkap dalam lubang-lubang di tepian sungai. Bertahan hidup dengan air tersisa hingga datangnya air itu membuat ikan-ikan kembali ke sungai. Dengan perangkap pencari ikan yang ada, warga bisa menikmati berkah datangnya hujan. Ikan-ikan yang berniat pesta atas kembalinya air kesungai itu justru masuk perangkap dan tak lagi akan menjadi santapan di atas piring.
Hujan pertama memang penuh dramatisasi kenangan masa lampau. Kesibukan baru yang harus di lakukan untuk menyambutnya. Agar air hujan tetap merupakan rahmat bagi manusia, maka bersahabat dengan hujan harus tersemat di pola pikir anak manusia. Betapapun deras air hujan yang datang, tidak akan berarti apa-apa jika perlakukan kita terhadap alam sekitar itu benar-benar ramah. Hujan tidak selalu mengajak banjir atau menebar bencana sebagaimana masa lampau kita yang amat jarang mendengar berita banjir. karena datangnya adalah rahmat saat tetesan-tetesan itu hendak mengisi perut bumi yang cadangan airnya menipis. Sayang, muka bumi saat ini lebih banyak menolak limpahan itu dengan banyaknya lapisan keras di atasnya. Hendak mencipta kolam raksasa bagi umat manusia. Ketika hutan yang mampu menahan limpahan air sudah mulai rapuh untuk menyangganya. Inilah cerita hujan yang mulai tergantikan oleh cerita miris.
Entahlah, sampai kapan kita bisa berbenah atas tragedi-tragedi hujan. Bukankah hujan datang hanyalah untuk menebus musim kemarau yang sama pedihnya? Saat keterbatasan air tak lagi ada. Saat warga dililit derita atas air bersih. Mestinya hujan adalah kabar gembira untuk menutaskan kekeringan. Seandainya hujan bisa bercerita, pasti ia akan berkeluh kesah, kenapa datangnya selalu dikatakan musibah, bukan lagi berkah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar