Potensi Merbau (Intsia palembanica) di TWA Sorong

Potensi Merbau (Intsia palembanica) di TWA Sorong (Studi Literatur dari Hasil Penelitian Kondisi dan Potensi Tegakan Agathis (Agathis labilardieri) pada TWA Sorong. Kerjasama Balai Besar KSDA Papua Barat dan Fakultas Kehutanan UNIPA.


Merbau pada mulanya banyak dijumpai di negara-negara Asia Tenggara dan kepulauan Pasifik, tetapi karena pembalakan yang berlebihan jenis tersebut tidak lagi tersedia dalam jumlah komersial di hampir seluruh tempat tumbuh aslinya: di banyak negara, hanya kantong-kantong kecil merbau masih tersisa di hutan tropis. Sejumlah merbau hanya tersedia secara komersial di pulau Papua, yang terdiri dari dua provinsi Indonesia (Papua dan Papua Barat ) di sebelah barat dan Papua Nugini (PNG) di sebelah timur. Daftar Red List of Threatened Species 2006 IUCN telah menggolongkan merbau pada kategori menghadapi resiko tinggi kepunahan di alam bebas dalam waktu dekat.

Berdasarkan parameter – parameter ekologis, seperti tipe tanah dan ketinggian, serta deskripsi persebaran merbau yang dijumpai dalam literature ilmiah, Pius Piskaut dari Bagian Ilmu Biologi Universitas Papua Nugini pada tahun 2006 telah memetakan Persebaran Awal Merbau di Tanah Papua dan Papua Nugini (lihat PETA).


۝ Persebaran Merbau Awal

Adanya Ijin Konsesi Penebangan Hasil Hutan Kayu di Papua dimana Merbau menjadi jenis komersial primadona, diperkirakan potensi merbau saat ini tinggal sedikit. Persebaran potensi merbau di Papua saat ini dimungkinkan hanya tersisa pada kawasan-kawasan konservasi dan lindung. 

Pada tahun 2009 Balai Besar KSDA Papua Barat bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan UNIPA telah melakukan penelitian potensi Agathis labilardieri yang sekaligus menghitung potensi merbau (Intsia palembanica) yang ada di TWA Sorong melalui metode Sistematik Continous Sampling. Plot Sampling yang digunakan berbentuk Kuadran dengan ukuran 20x20 meter untuk pohon, 10x10 meter tiang, 5x5 meter pancang, dan 2x2 meter semai. Hasil pegukuran di lapangan terhadap Intsia palembanica pada tingkat pohon dibandingkan dengan jenis lain seperti tampak pada tabel:


Pada  kolom tabel FR diketahui Intsia palembanica  mempunyai nilai Frekuensi Relatif (FR) sebesar 1.1 terendah ke-2 dibandingkan jenis yang lain. Hal ini menunjukkan Intsia palembanica lebih jarang dijumpai pada plot ukur dibandingkan jenis yang lain.

Pada kolom tabel KR diketahui diketahui Intsia palembanica mempunyai nilai Kerapatan Relatif (KR) sebesar 3.2 terendah ke-3 dibandingkan jenis yang lain. Hal ini menunjukkan jumlah Intsia palembanica  lebih sedikit dari pada enam jenis yang lain pada plot ukur.

Pada kolom tabel DR diketahui diketahui Intsia palembanica mempunyai nilai Dominansi Relatif (DR) sebesar 3.2 terbesar ke-3 dibandingkan jenis yang lain. Hal ini menunjukkan volume pohon Intsia palembanica  lebih besar dari pada tujuh jenis yang lain. Besarnya volume pohon jenis Intsia palembanica  yang ditemui di TWA Sorong tidak sebanyak frekuensi dan kerapatannya.

Secara keseluruhan Intsia palembanica memiliki Indeks Nilai Penting terbesar ke enam dibandingkan jenis yang lain. Kondisi di sekitar area pengamatan telah terjadi perladangan, adanya jalan, dan tegakan hutan sekunder. Menurut sejarah pengelolaan kawasan, masyarakat sekitar sering mengambil anakan alam Agathis, merbau, dan jenis lainnya untuk pembibitan. Tidak ditemuinya tingkat semai merbau pada saat pengamatan dimungkinkan karena sering diambil oleh masyarakat. Dengan milihat nilai DR Intsia palembanica yang relative besar dengan nilai KR/FR-nya yang kecil menunjukkan bahwa jenis Intsia palembanica di TWA Sorong diameternya besar-besar dan jumlahnya sedikit. Potensi ini tentunya sangat mendukung Intsia palembanica di TWA Sorong dijadikan pohon indukan.

Sumber Pustaka
  • Ibid. Piskaut, P. April 2006. Analysis of Trade of Intsia spp. in New Guinea. University of Papua New Guinea. (laporan yang tidak diterbitkan).
  • IUCN. www.iucnredlist.org
  • Kondisi dan Potensi Tegakan Agathis (Agathis labilardieri) pada TWA Sorong. Kerjasama Balai Besar KSDA Papua Barat dan Fakultas Kehutanan UNIPA. 2009

Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi Melalui Pembangunan Model Desa Konservasi



Pemberdayaan Masyarakat di sekitar kawasan konservasi pada dasarnya merupakan 
segala upaya yang bertujuan untuk terus meningkatkan keberdayaan masyarakat 
di sekitar kawasan konservasi, untuk memperbaiki kesejahteraannya dan meningkatkan 
partisipasi mereka dalam segala kegiatan konservasi sumberdaya hayati dan 
ekosistemnya, secara berkelanjutan.
Visi dan Misi
Visi
terwujudnya kemandirian masyarakat untuk memperbaiki kesejahteraan hidupnya melalui partisipasinya secara aktif dalam kegiatan pemanfaatan, pengamanan dan pelestarian sumber daya ala hayati dan ekosistemnya.

Misi
  1. Memantapkan kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya,dengan meningkatkan peranserta masyarakat.
  2. Mengembangkan partisipasi, desentralisasi, kemitraan, pemerataan, keberlanjutan, kemandirian, guna meningkatkan kelestarian kawasan konservasi.
  3. Meningkatkan kontribusi kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi.

Tujuan
  1. Menjamin keseimbangan ekologis, ekonomi, maupun sosial budaya dan kelestarian kawasan konservasi.
  2. Meningkatkan kemandirian masyarakat sebagai pendukung utama dalam pembangunan kehutanan melalui peningkatan ekonomi kerakyatan di sekitar kawasan konservasi.
  3. Mengaktualisasikan ekses timbal balik peran masyarakat dan fungsi kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sasaran
Dalam pelaksanaannya, sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan pemberdayaan masyarakat meliputi :
  1. Terjaganya kelestarian kawasan konservasi, sehingga peran, fungsi dan kontribusi kawasan konservasi terhadap masyarakat di sekitar kawasan konservasi dapat optimal.
  2. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat, sehingga kesadaran, kemauan dan kepedulian dalam upaya-upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya meningkat.
  3. Terwujudnya keserasian dan keharmonisan antara kelestarian kawasan konservasi dengan kehidupan masyarakat.
Dalam rangka pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dan sebagai model/contoh dalam upayapemberdayaan masyarakat di sekitar  kawasan konservasi, dengan memperhatikan aspek konservasi, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat, perlu dilakukan melalui pembangunan Model Desa Konservasi (MDK).

Kebijakan yang ditempuh dalam rangka pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi melalui pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) meliputi : 
  1. Pembangunan kawasan konservasi harus tetap memperhatikan pembangunan masyarakat didalam dan sekitar hutan.
  2. Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) sebagai upaya konkrit pemberian contoh kepada masyarakat mengenai pemberdayaan masyarakat.
  3. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi/daerah penyangga dilakukan secara terintegrasi dalam pengelolaan kawasan secara partisipatif melalui pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan unit management Balai Besar/Balai TN dan Balai Besar/Balai KSDA dan dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah setempat.   
  4. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi/daerah penyangga dilakukan melalui optimalisasi potensipemanfaatan jasa lingkungan dan TSL (hasil hutan non kayu).
  5. Pembangunan masyarakat dilaksanakan melalui pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dan kemandiriannya yang dilakukan melalui pembangunan desa model di sekitar kawasan konservasi.
  6. Pemberdayaan masyarakat harus mengarah kepada kegiatan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian sumber daya hutan.
  7. Pemberdayaan masyarakat di arahkan pada desa-desa di sekitar kawasan konservasi/daerah penyangga yang masyarakatnya mempunyai interaksi langsung dengan kawasan konservasi dan berpotensi mengancam kelestarian kawasan.
Pelaksanaan Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) pada dasarnya merupakan kegiatan partisipatif dari berbagai pihak (stakeholders) yang terkait dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, termasuk peran Pemerintah Daerah (Pemda) setempat. Langkah awal dalam pelaksanaan Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) agar dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien serta untuk dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka perlu adanya kesepahaman dari berbagai pihak (stakeholders) yang terkait, termasuk pemerintah daerah setempat.

Dalam pelaksanaan Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) harus memperhatikan tahapan kegiatan, yang secara rinci dijelaskan pada tabel berikut :

Tabel 1. Tahapan Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Model 
Desa Konservasi (MDK).





Tahapan kegiatan tersebut di atas, secara periodik dilaksanakan setiap tahun dan selanjutnya dalam rangka keberlanjutan kegiatan pemberdayaan masyarakat, maka perlu didorong kegiatan :
1. Mendorong kegiatan dan pengembangan aktifitas kelompok.
2. Penyusunan rencana kelompok, secara periodik.
3. Peningkatan dan pengelolaan modal bersama.
4. Pelaksanaan usaha bersama.
5. Gerakan menabung dan pengembalian kredit.
6. Pencatatan dan pembukuan keuangan kelompok.
7. Pemasaran hasil usaha.
8. Pengembangan modal dan penggunaannya.
9. Optimalisasi waktu dan uang secara tepat.
10. Pengembangan kerjasama antar kelompok dan perkoperasian.
11. Dukungan lembaga/instansi terkait lainnya.

Dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dilokasi Model Desa Konservasi, agar memperhatikan rambu-rambu MDK terhadap aspek lahan di dalam kawasan konservasi, yaitu :
1. Tidak merubah kawasan.
2. Tidak merubah fungsi hutan.
3. Tidak membuat sertifikat tanah.
4. Masyarakat diberikan hak memanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan jasa lingkungan sesuai peraturan yang berlaku.


Sumber :
Dr. Ir. Rachman Upe, MM. dan Agus Haryanto, S.Hut, 2008, Pedoman Pembangunan MDK di Sekitar Kawasan Konservasi, Departemen Kehutanan

Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi Melalui Pembangunan Model Desa Konservasi



Pemberdayaan Masyarakat di sekitar kawasan konservasi pada dasarnya merupakan 
segala upaya yang bertujuan untuk terus meningkatkan keberdayaan masyarakat 
di sekitar kawasan konservasi, untuk memperbaiki kesejahteraannya dan meningkatkan 
partisipasi mereka dalam segala kegiatan konservasi sumberdaya hayati dan 
ekosistemnya, secara berkelanjutan.
Visi dan Misi
Visi
terwujudnya kemandirian masyarakat untuk memperbaiki kesejahteraan hidupnya melalui partisipasinya secara aktif dalam kegiatan pemanfaatan, pengamanan dan pelestarian sumber daya ala hayati dan ekosistemnya.

Misi
  1. Memantapkan kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya,dengan meningkatkan peranserta masyarakat.
  2. Mengembangkan partisipasi, desentralisasi, kemitraan, pemerataan, keberlanjutan, kemandirian, guna meningkatkan kelestarian kawasan konservasi.
  3. Meningkatkan kontribusi kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi.

Tujuan
  1. Menjamin keseimbangan ekologis, ekonomi, maupun sosial budaya dan kelestarian kawasan konservasi.
  2. Meningkatkan kemandirian masyarakat sebagai pendukung utama dalam pembangunan kehutanan melalui peningkatan ekonomi kerakyatan di sekitar kawasan konservasi.
  3. Mengaktualisasikan ekses timbal balik peran masyarakat dan fungsi kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sasaran
Dalam pelaksanaannya, sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan pemberdayaan masyarakat meliputi :
  1. Terjaganya kelestarian kawasan konservasi, sehingga peran, fungsi dan kontribusi kawasan konservasi terhadap masyarakat di sekitar kawasan konservasi dapat optimal.
  2. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat, sehingga kesadaran, kemauan dan kepedulian dalam upaya-upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya meningkat.
  3. Terwujudnya keserasian dan keharmonisan antara kelestarian kawasan konservasi dengan kehidupan masyarakat.
Dalam rangka pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dan sebagai model/contoh dalam upayapemberdayaan masyarakat di sekitar  kawasan konservasi, dengan memperhatikan aspek konservasi, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat, perlu dilakukan melalui pembangunan Model Desa Konservasi (MDK).

Kebijakan yang ditempuh dalam rangka pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi melalui pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) meliputi : 
  1. Pembangunan kawasan konservasi harus tetap memperhatikan pembangunan masyarakat didalam dan sekitar hutan.
  2. Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) sebagai upaya konkrit pemberian contoh kepada masyarakat mengenai pemberdayaan masyarakat.
  3. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi/daerah penyangga dilakukan secara terintegrasi dalam pengelolaan kawasan secara partisipatif melalui pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan unit management Balai Besar/Balai TN dan Balai Besar/Balai KSDA dan dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah setempat.   
  4. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi/daerah penyangga dilakukan melalui optimalisasi potensipemanfaatan jasa lingkungan dan TSL (hasil hutan non kayu).
  5. Pembangunan masyarakat dilaksanakan melalui pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dan kemandiriannya yang dilakukan melalui pembangunan desa model di sekitar kawasan konservasi.
  6. Pemberdayaan masyarakat harus mengarah kepada kegiatan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian sumber daya hutan.
  7. Pemberdayaan masyarakat di arahkan pada desa-desa di sekitar kawasan konservasi/daerah penyangga yang masyarakatnya mempunyai interaksi langsung dengan kawasan konservasi dan berpotensi mengancam kelestarian kawasan.
Pelaksanaan Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) pada dasarnya merupakan kegiatan partisipatif dari berbagai pihak (stakeholders) yang terkait dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, termasuk peran Pemerintah Daerah (Pemda) setempat. Langkah awal dalam pelaksanaan Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) agar dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien serta untuk dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka perlu adanya kesepahaman dari berbagai pihak (stakeholders) yang terkait, termasuk pemerintah daerah setempat.

Dalam pelaksanaan Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) harus memperhatikan tahapan kegiatan, yang secara rinci dijelaskan pada tabel berikut :

Tabel 1. Tahapan Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Model 
Desa Konservasi (MDK).





Tahapan kegiatan tersebut di atas, secara periodik dilaksanakan setiap tahun dan selanjutnya dalam rangka keberlanjutan kegiatan pemberdayaan masyarakat, maka perlu didorong kegiatan :
1. Mendorong kegiatan dan pengembangan aktifitas kelompok.
2. Penyusunan rencana kelompok, secara periodik.
3. Peningkatan dan pengelolaan modal bersama.
4. Pelaksanaan usaha bersama.
5. Gerakan menabung dan pengembalian kredit.
6. Pencatatan dan pembukuan keuangan kelompok.
7. Pemasaran hasil usaha.
8. Pengembangan modal dan penggunaannya.
9. Optimalisasi waktu dan uang secara tepat.
10. Pengembangan kerjasama antar kelompok dan perkoperasian.
11. Dukungan lembaga/instansi terkait lainnya.

Dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dilokasi Model Desa Konservasi, agar memperhatikan rambu-rambu MDK terhadap aspek lahan di dalam kawasan konservasi, yaitu :
1. Tidak merubah kawasan.
2. Tidak merubah fungsi hutan.
3. Tidak membuat sertifikat tanah.
4. Masyarakat diberikan hak memanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan jasa lingkungan sesuai peraturan yang berlaku.


Sumber :
Dr. Ir. Rachman Upe, MM. dan Agus Haryanto, S.Hut, 2008, Pedoman Pembangunan MDK di Sekitar Kawasan Konservasi, Departemen Kehutanan

Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi Melalui Pembangunan Model Desa Konservasi-Edisi 11 2011



Pemberdayaan Masyarakat di sekitar kawasan konservasi pada dasarnya merupakan 
segala upaya yang bertujuan untuk terus meningkatkan keberdayaan masyarakat 
di sekitar kawasan konservasi, untuk memperbaiki kesejahteraannya dan meningkatkan 
partisipasi mereka dalam segala kegiatan konservasi sumberdaya hayati dan 
ekosistemnya, secara berkelanjutan.
Visi dan Misi
Visi
terwujudnya kemandirian masyarakat untuk memperbaiki kesejahteraan hidupnya melalui partisipasinya secara aktif dalam kegiatan pemanfaatan, pengamanan dan pelestarian sumber daya ala hayati dan ekosistemnya.

Misi
  1. Memantapkan kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya,dengan meningkatkan peranserta masyarakat.
  2. Mengembangkan partisipasi, desentralisasi, kemitraan, pemerataan, keberlanjutan, kemandirian, guna meningkatkan kelestarian kawasan konservasi.
  3. Meningkatkan kontribusi kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi.

Tujuan
  1. Menjamin keseimbangan ekologis, ekonomi, maupun sosial budaya dan kelestarian kawasan konservasi.
  2. Meningkatkan kemandirian masyarakat sebagai pendukung utama dalam pembangunan kehutanan melalui peningkatan ekonomi kerakyatan di sekitar kawasan konservasi.
  3. Mengaktualisasikan ekses timbal balik peran masyarakat dan fungsi kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sasaran
Dalam pelaksanaannya, sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan pemberdayaan masyarakat meliputi :
  1. Terjaganya kelestarian kawasan konservasi, sehingga peran, fungsi dan kontribusi kawasan konservasi terhadap masyarakat di sekitar kawasan konservasi dapat optimal.
  2. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat, sehingga kesadaran, kemauan dan kepedulian dalam upaya-upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya meningkat.
  3. Terwujudnya keserasian dan keharmonisan antara kelestarian kawasan konservasi dengan kehidupan masyarakat.
Dalam rangka pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dan sebagai model/contoh dalam upayapemberdayaan masyarakat di sekitar  kawasan konservasi, dengan memperhatikan aspek konservasi, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat, perlu dilakukan melalui pembangunan Model Desa Konservasi (MDK).

Kebijakan yang ditempuh dalam rangka pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi melalui pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) meliputi : 
  1. Pembangunan kawasan konservasi harus tetap memperhatikan pembangunan masyarakat didalam dan sekitar hutan.
  2. Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) sebagai upaya konkrit pemberian contoh kepada masyarakat mengenai pemberdayaan masyarakat.
  3. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi/daerah penyangga dilakukan secara terintegrasi dalam pengelolaan kawasan secara partisipatif melalui pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan unit management Balai Besar/Balai TN dan Balai Besar/Balai KSDA dan dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah setempat.   
  4. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi/daerah penyangga dilakukan melalui optimalisasi potensipemanfaatan jasa lingkungan dan TSL (hasil hutan non kayu).
  5. Pembangunan masyarakat dilaksanakan melalui pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dan kemandiriannya yang dilakukan melalui pembangunan desa model di sekitar kawasan konservasi.
  6. Pemberdayaan masyarakat harus mengarah kepada kegiatan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian sumber daya hutan.
  7. Pemberdayaan masyarakat di arahkan pada desa-desa di sekitar kawasan konservasi/daerah penyangga yang masyarakatnya mempunyai interaksi langsung dengan kawasan konservasi dan berpotensi mengancam kelestarian kawasan.
Pelaksanaan Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) pada dasarnya merupakan kegiatan partisipatif dari berbagai pihak (stakeholders) yang terkait dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, termasuk peran Pemerintah Daerah (Pemda) setempat. Langkah awal dalam pelaksanaan Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) agar dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien serta untuk dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka perlu adanya kesepahaman dari berbagai pihak (stakeholders) yang terkait, termasuk pemerintah daerah setempat.

Dalam pelaksanaan Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) harus memperhatikan tahapan kegiatan, yang secara rinci dijelaskan pada tabel berikut :

Tabel 1. Tahapan Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Model 
Desa Konservasi (MDK).





Tahapan kegiatan tersebut di atas, secara periodik dilaksanakan setiap tahun dan selanjutnya dalam rangka keberlanjutan kegiatan pemberdayaan masyarakat, maka perlu didorong kegiatan :
1. Mendorong kegiatan dan pengembangan aktifitas kelompok.
2. Penyusunan rencana kelompok, secara periodik.
3. Peningkatan dan pengelolaan modal bersama.
4. Pelaksanaan usaha bersama.
5. Gerakan menabung dan pengembalian kredit.
6. Pencatatan dan pembukuan keuangan kelompok.
7. Pemasaran hasil usaha.
8. Pengembangan modal dan penggunaannya.
9. Optimalisasi waktu dan uang secara tepat.
10. Pengembangan kerjasama antar kelompok dan perkoperasian.
11. Dukungan lembaga/instansi terkait lainnya.

Dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dilokasi Model Desa Konservasi, agar memperhatikan rambu-rambu MDK terhadap aspek lahan di dalam kawasan konservasi, yaitu :
1. Tidak merubah kawasan.
2. Tidak merubah fungsi hutan.
3. Tidak membuat sertifikat tanah.
4. Masyarakat diberikan hak memanfaatkan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan jasa lingkungan sesuai peraturan yang berlaku.


Sumber :
Dr. Ir. Rachman Upe, MM. dan Agus Haryanto, S.Hut, 2008, Pedoman Pembangunan MDK di Sekitar Kawasan Konservasi, Departemen Kehutanan

Persepsi Masyarakat Terhadap Kawasan Konservasi SM

Persepsi Masyarakat Terhadap Kawasan Konservasi SM. Jamursba Medi di Distrik Abun Kabupaten Tambrauw Provinsi Papua Barat.



I. Kondisi Demografi, Sosial, Ekonomi dan Budaya

A. Demografi/Penduduk
Kawasan SM Jamurba Medi dan Pantai Warmon merupakan pantai peneluran penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) yang secara administrasi kepemerintahan berada di Distrik Abun Kabupaten Tambrauw, dimana 4 (empat) kampung yang terdekat dengan pantai peneluran yaitu: Kampung Saubeba, Kampung Warmandi, Kampung Wau dan Kampung Weyaf. Total jumlah penduduk keempat kampung di distrik tersebut adalah 596 jiwa yang berasal dari 134 rumah tangga (survey tahun 2011).

Grafik Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
di tiga Kampung Distrik Abun


Sumber: Hasil survey Tahun 2011

Berdasarkan grafik di atas diketahui jumlah penduduk yang terbanyak untuk distrik Abun berada di kampung Saubeba dimana penduduk laki-laki dan penduduk perempuannya hampir sama banyak dengan prosentasenya laki-laki (50,6%) dan perempuan (49,4%). Secara garis besar, penduduk di kawasan SM Jamursba Medi dan Warmon sebagian besar adalah berasal dari Suku Abun.

Tabel Jumlah Penduduk Kampung di Kawasan SM Jamursba Medi dan Warmon

Sumber: Hasil survey Tahun 2011

B. Pendidikan dan Kesehatan

1. Pendidikan
Kampung-kampung di Kawasan SM Jamursba Medi dan Warmon memiliki masing-masing 1 (satu) buah gedung Sekolah Dasar (SD) dengan tenaga guru tetap sebanyak 6 (enam) orang antara lain SD Kampung Saubeba 3 (tiga) orang, Warmandi 1 (satu) orang dan Wau-Weyaf 2 (dua) orang. 

Khusus untuk SD Kampung Warmandi yang memiliki 3 ruang kelas, baru di aktifkan pada tahun 2010, sementara SD Kampung Wau-Weyaf gedung sekolah yang hancur akibat gempa tahun 2008 telah selesai dibangun tahun 2011 dan aktif pada tahun ajaran baru 2011/2012.  Kemudian sekolah tingkat pertama (SMP) sudah tersedia di Ibu Kota Distrik Abun yaitu Kampung Waibem yang dapat mengakomodir anak-anak dari kampung Wau-Weyaf, dan SMP Werur Distrik Sausapor mengakomodir anak-anak asal Kampung Saubeba, sedangkan untuk anak-anak asa Kampung Warmandi bisa dapat lanjutkan di SMP Werur ataupun SMP Waibem, karena posisi kampung terletak dipertengahan. 


Kampung Saubeba

2. Kesehatan 
Sarana kesehatan Pustu (puskesmas pembantu) yang terdapat di kampung-kampung kawasan SM Jamursba Medi dan Warmon hanya ada 2 (buah) yaitu di Kampung Saubeba dan Warmandi. Untuk Kampung Warmandi pustunya sementara dibangun, sedangkan di Kampung Wau-Weyaf, pustunya rusak yang diakibatkan karena gempa tahun 2008, sehingga rumah petugas kesehatan dipakai sebagai pusat pelayanan kesehatan.  Penyakit umum yang dihadapi oleh masyarakat di Kawasan ini Malaria, ISPA, TB, Cacingan, Rematik, Penyakit Kulit, dan  Khaki Gajah. 

Puskesmas Pembantu Kampung Saubeba

Tabel : Petugas Kesehatan Kampung

Sumber: Hasil survey Tahun 2011

C. Agama

Masyarakat di Kawasan SM Jamursba Medi dan Warmon penduduknya beragama Kristen Protestan dan Katholik.

D. Mata Pencaharian

Masyarakat di Kawasan SM Jamursba Medi dan Warmon memiliki sumber daya alam yang cukup besar baik laut maupun daratnya (hutan) dimana mereka melakukan aktifitas untuk menunjang konsumsi sehari-hari.  Beranjak dari sejarah, masyarakat di kawasan ini berasal dari pedalaman, jadi untuk konsumsi sehari-hari mereka peroleh dari hutan (berkebun maupun berburu). Mata pencaharian yang umumnya dilakukan masyarakat di Kawasan SM Jamursba Medi dan Warmon adalah berburu dan berkebun meskipun mereka tinggal di daerah pesisir.  Kalaupun ada yang melaut untuk mencari ikan, itu hanya untuk dimakan. Sedangkan hasil kebun dan berburu itulah yang mereka jual, khususnya untuk binatang dijual dalam bentuk daging segar dan dendeng. Hasil jualnya dipergunakan untuk membelanjakan kebutuhan keluarga.

Kebun Masyarakat dan Hasil Buruan Kampung Saubeba

E. Sarana dan Prasarana

1. Pasar
Kampung-kampung yang berada di sekitar kawasan SM Jamursba Medi belum memilik pasar yang selayaknya seperti di kota. Di kampung ini hanya tersedia kios-kios yang menyediakan segala kebutuhan masyarakat kampung akan sembilan bahan pokok (sembako) selain kios-kios temporer/pasar berlabu (kapal-kapal layar buton) yang sering datang untuk membeli hasil masyarakat berupa kopra dan coklat tetapi juga menjual sembako dan rokok.  Fungsi lainnya dari kios-kios yang berada di kampung sekitar SM Jamursba Medi, kecuali Kampung Warmandi adalah melayani masyarakat dengan barter (hasil masyarakat dengan sembako). 

2. Transportasi
Sarana dan Prasarana transportasi masyarakat di Kawasan SM Jamursba Medi dan Warmon dalam kaitannya untuk pemenuhan ekonomi keluarga dari hasil hutan (berburu) dan kebun yang akan dijual ke kota masih melintasi jalur laut dengan long boat ataupun kapal perintis. Meskipun sudah ada terobosan melalui program pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah yaitu pembuatan jalan lintas kabupaten.

Transportasi Masyarakat

F. Kearifan Lokal Masyarakat dan Adat Budaya
Masyarakat Kampung di sekitar Kawasan SM Jamursba Medi dan Warmon memiliki kebiasaan untuk penyelesaian konflik dengan membayar denda berupa kain timor, besar kecilnya denda ditentukan dengan jenis kain yang harus dibayarkan. Makin tinggi pelanggaran yang dilakukan semakin besar denda yang harus dikenakan. Mereka menyadari juga bahwa sumberdaya alam mereka akan habis apabila tidak di atur pemanfaatannya, rusa menjadi salah satu target hewan buruan, namun masyarakat menetapkan kawasan gunung sepanjang bagian belakang kawasan peneluran penyu dari Kampung Wau-Weyaf sampai dengan Kampung Saubeba sebagai wilayah yang tidak boleh dijamah atau menjadi areal perburuan. Bagi masyarakat, kawasan tersebut adalah kawasan tabungan, rusa hanya diperbolehkan untuk diburu di kawasan lembah dan sekitar kebun masyarakat, sampai pesisir pantai.  Selain itu Sasi digunakan untuk acara sumpah adat dengan menggunakan bamboo sumpah maupun air sumpah adat dan pisau adat.

G. Persepsi Masyarakat terhadap pentingnya Konservasi penyu

Berdasarkan hasil survey tehadap persepsi masyarakat  pada tahun 2009 yang dilakukan oleh WWF Indonesia pada 7 (tujuh) kampung, diantaranya adalah: Kampung Saubeba, Warmandi, Wau dan Weyaf tentang kondisi lingkungan laut  khususnya  kondisi  pantai peneluran penyu  memperlihatkan  bahwa  pandangan  responden di tujuh kampung bervariasi. Sebanyak 78.1% responden di Abun mengatakan kerusakan pesisir pantai peneluran penyu di daerahnya merupakan masalah besar, namun ada juga yang mengatakan kerusakan wilayah pesisir pantai  bukan  menjadi  masalah  besar yaitu sebanyak 5%.  Namun  yang  sangat  menarik  adalah  persepsi  masyarakat  tentang  jumlah  penyu  yang  semakin  berkurang,  yaitu 84,7 % responden mengatakan hal tersebut merupakan masalah besar. 

Dari  hasil  survey  persepsi  masyarakat  tentang  upaya  perlindungan  penyu,  dapat  dilihat  bahwa  sebagian  besar  masyarakat  yaitu  79,4  %  setuju  bahwa  penyu  harus  dilindungi,  dan  juga  53,44%  masyarakat tidak setuju membuat kebun di tepi pantai peneluran, namun masih ada juga masyarakat  yang  setuju  membuat  kebun  di  tepi  pantai  peneluran  penyu  yaitu  33,44%, nilai  ini  masih  cukup   tinggi bila dibandingkan dengan dampak yang akan timbulkan bila hal ini benar-benar terjadi. Selain  itu 82,5% masyarakat setuju agar telur penyu dibiarkan di sarangnya agar dapat menghasilkan lebih  banyak penyu.

Masyarakat melihat aktor utama dari permasalah yang ada di pantai dan pesisir  pantai di sekitar kampung adalah sebabkan oleh nelayan dari luar. Sebanyak 28,08% respoden di Abun  menegaskan bahwa pelaku utama masalah di sekitar pantai dan pesisir di sekitar kampung mereka  adalah nelayan dari luar yang beroperasi di wilayah mereka. Sedangkan pelaku lain yang menjadi penyebab utama permasalah yang ditemui di laut dan pesisir pantai adalah pengunjung/wisatawan itu  sendiri (16,6%). Pihak lain yang juga mereka anggap turun berkontribusi dalam permasalahan yang  ditemui di laut dan pesisir pantai adalah masyarakat kampung (11,9%), kepala kampung (2,2%), dan  pengusaha swasta dan Yayasan (ornop)/LSM (1,9%).

Data survey memperlihatkan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat Abun terhadap sumber daya alam di darat masih sangat tinggi. Hal ini terlihat dari persentase kegiatan ekonomis masyarakat pada dua kegiatan yaitu sebagai petani sedangkan ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya laut sangat rendah ini juga terlihat dari prosentase responden yang berprofesi sebagai nelayan. Namun hal tersebut  bukan  tidak  berdampak  pada  kondisi  sumberdaya  laut,  karena  usaha  pertanian  yang dilakukan oleh masyarakat yang berdekatan dengan pesisir pantai peneluran penyu dapat berdampak pada sedimentasi pesisir pantai yang bias mengganggu habitat peneluran penyu. Dari hasil tersebut maka program-program konservasi dan  pemberdayaan masyarakat Abun hendaknya ditujukkan untuk  menjamin kelangsungan usaha-usaha ekonomi masyarakat di bidang pertanian dan perikanan secara berkelanjutan. 

Jumlah  masyarakat  Abun  yang  berpendidikan  tinggi  sangatlah  rendah.    Hal  ini  ditunjukan  dengan data survey bahwa sebagian besar responden hanya berpendidikan sekolah dasar. Hal ini tentu saja akan berpengaruh terhadap kemampuan masyarakat untuk dapat memahami pesan-pesan konservasi yang   diberikan   melalui   program  penyadaran masyarakat. Strategi penyampaian pesan-pesan konservasi harus  dirancang sedemikian rupa dengan mempertimbangkan tingkat pendidikan dari mayoritas penduduk Abun tersebut.   

Mengingat bahwa radio merupakan sumber informasi utama yang banyak dimanfaatkan masyarakat di Abun, maka penggunaan  radio  sebagai  medium  untuk  menyampaikan  program awareness  patut dipertimbangkan. Dimasa  yang  akan  datang, kegiatan-kegiatan  kampanye kesadaran  akan pentingnya  menjaga  dan  melestarikan  lingkungan  khususnya  pelestarian  sumber  daya  alam  laut melalui radio bisa menjadi alternatif pilihan.

Dari hasil survey mengenai kondisi lingkungan laut  dan pesisir pantai di Abun ternyata kerusakan yang  terjadi  dirasakan  cukup  parah  bila  dibandingkan  kondisi  10  tahun  yang  lalu,  penyebab kerusakan tersebut banyak disebabkan adanya penangkapan ikan secara berlebih yang dilakukan oleh nelayan  dari  luar  wilayah  ini,  selain  itu  beberapa  kegiatan  penangkapan  yang  dilakukan  oleh masyarakat seperti pengambilan karang dan bameti di karang juga merupakan masalah yang cukup serius  yang  masih  dilakukan  oleh  masyarakat.  program  penyadaran  dan  distribusi  informasi  tentang ancaman  terhadap  terumbu  karang  dan  bakau  harus  terus  disuarakan.  

Masyarakat  memahami bahwa  kondisi  terumbu  karang  dan pantai peneluran penyu  bisa mengalami  penurunan  jika  tekanan  terhadap  kedua  ekosistem  tersebut  terus  berlangsung  secara berlebihan dan dengan menggunakan cara-cara yang bersifat merusak atau tidak ramah lingkungan. Pemberdayaan  dan  penguatan  kapasitas  pemimpin  lokal  utamanya  kepala  kampung,  tokoh  adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat sangat  penting untuk terus dilakukan. Para  pemimpin lokal ini masih  dianggap  sebagai  orang  yang  mampu  menyelesaikan  setiap  permasalahan  lingkungan  yang terjadi di daerah mereka. Peran pemimpin lokal ini akan sangat strategis untuk mengurangi sumber permasalahan  lingkungan  di  kampung  yang  sebagian  besar  berasal  dari  masyarakat  kampung  itu sendiri. Penguatan kapasitas tokoh dan masyarakat  lokal perlu mendapat perhatian lebih agar pelibatan dan peran serta mereka dalam kelompok pemangku kepentingan atau lembaga-lembaga sosial di tingkat kampung akan memberikan dampak yang baik bagi upaya-upaya pengelolaan sumber daya alam di wilayah Tambrauw secara umum dan Abun lebih khusus. Makin tinggi tingkat pelibatan masyarakat dalam   upaya-upaya   pelestarian   sumber   daya   alam melalui kelompok-kelompok pemangku kepentingan akan lebih mempermudah   upaya-upaya pelestarian sumber daya alam dan pengelolaannya secara berkelanjutan.        
Sementara  dari  sisi  aturan  hukum,  sangat  perlu  untuk  memperkuat  aturan-aturan  adat  setempat, terutama  yang  mengatur  tentang  upaya-upaya  pelestarian  sumber  daya  alam  dan  pemanfaatannya secara berkelanjutan. Hal ini juga harus didukung dengan penegakkan terhadap aturan-aturan hokum nasional termasuk aturan pemanfaatan sumber daya alam.